Bila mendengar kata "TOGUTIL", maka bayangan yang muncul dalam pikiran
semua orang di Ternate dan Maluku Utara pasti akan tertuju pada
komunitas suku terasing yang hidup secara nomaden di pedalaman pulau
Halmahera. Tapi mungkin lain halnya dengan masyarakat di luar provinsi
muda ini, misalnya orang-orang di Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Sumatera
dsb, nama suku Togutil mungkin baru kali ini didengarnya. Bagi orang
Ternate, kata "Togutil" sebagai sebuah istilah, itu identik dengan makna
kata “primitif”, “keterbelakangan”, “kebodohan” “ketertinggalan” serta
masih banyak lagi konotasi-konotasi yang bermakna serupa lainnya.
Dalam keseharian kehidupan masyarakat di Maluku Utara yang hingga
sekarang ini juga telah memasuki era digital sebagaimana orang-orang di
pulau Jawa, namun ternyata masih ada saudara-saudaranya yang ada di
pedalaman pulau Halmahera yang hidupnya masih primitif dan terbelakang
serta jauh dari sentuhan modernisasi. Padahal negara ini sudah merdeka
lebih dari 60 tahun yang lalu.
Suku Togutil adalah suku asli yang terasing di negerinya sendiri. Hal
seperti ini juga pernah dikemukakan oleh Pengamat Budaya Djoko Su’ud
Sukahar dalam tulisannya; Suku Asing & Terasing, detikNews, tanggal
21 Agustus 2008 yang menyentil bahwa; "Enampuluh tiga tahun sudah kita
merdeka. Kemerdekaan yang panjang itu masih menyisakan penyesalan. Tak
hanya karena taraf hidup rakyat yang tak kunjung membaik, tapi juga
masih banyaknya saudara kita yang hidup terasing. Mereka asing bagi
kita, dan kita asing bagi mereka, seperti orang-orang Suku Togutil yang
hidup di pedalaman pulau Halmahera". Walaupun mereka masih primitif
karena pola hidup secara nomaden tanpa merobah dan merusak alam, namun
keberadaan mereka seperti itu telah memberikan pelajaran berharga kepada
kita semua dalam hal melestarikan hutan. Seakan-akan mereka berpesan;
janganlah sekali-kali merusak alam.
Seperti yang pernah saya jelaskan dalam artikel-artikel pada posting
sebelumnya bahwa pada zaman Pleistochen pulau Halmahera masih menyatu
dengan pulau-pulau kecil lainnya yang ada saat ini, seperti pulau
Morotai, Hiri, Ternate, Maitara, Tidore, Mare, Moti, Makian, Kayoa,
Bacan, Gebe dan sebagainya. Perubahan alam yang terjadi selama ratusan
ribu tahun dan pergeseran kulit bumi secara evolusi telah membentuk
pulau-pulau kecil. Halmahera adalah merupakan pulau induk di kawasan
ini, dan merupakan dataran tertua, selain pulau Seram di Maluku Tengah.
Secara logis, karena pulau Halmahera adalah pulau induk dan daratan
tertua, maka dapat dipastikan bahwa perkembangan kehidupan dan
persebaran “manusia Maluku Utara” juga tentu bermula dari daratan ini.
Namun bukan itu yang menjadi bahasan saya dalam tulisan ini. Pembahasan
hanya terfokus pada keberadaan sebuah komunitas yakni orang-orang suku
Togutil yang masih tersisa yang mengalami ketertinggalan dalam
perkembangan sosio-kultural yang disebabkan karena mereka terisolasi
atau mengisolasikan diri dari pergaulan dengan lingkungan manusia
lainnya. Hidup mereka telah menyatu dengan alam sehingga hutan rimba,
sungai-sungai dan goa-goa di belantara pedalaman pulau Halmahera menjadi
rumah mereka.
Disadari atau tidak, sebagian orang bisa menyimpulkan bahwa pernyataan
tersebut di atas menunjukkan bahwa manusia Maluku Utara yang sudah
modern dan maju seperti sekarang ini dahulunya adalah juga seperti
“orang Togutil” ini.
Bila kita bijak, maka hal ini tidak lantas begitu saja langsung
dibantah, karena jika kita mempelajari “Ilmu Anthropologi” maka pasti
kita memahami bahwa setiap bangsa atau suku mana saja di muka bumi ini
dalam perjalanannya pasti mengalami tahap-tahap perkembangan yang
demikian. Misalnya bangsa Kaukasoid (orang Eropa) yang lebih dahulu maju
dan telah menjadi manusia modern seperti sekarang ini, dahulunya juga
adalah suku primitif (Vicking) yang kehidupannya masih tergantung dengan
pemberian alam (Nomad) seperti orang Tugutil ini.
Kembali kepada pembicaraan kita tentang “Suku Togutil”… Catatan ilmiah
tentang suku ini, pertama kali dikemukakan tahun 1929 yang berbentuk
sebuah artikel pendek yang terdapat dalam buku; “De Ternate Archipel”
Serie Q, No.43 Ontleedn aan de memorie van overgave van den toenmaligen
Controleur van Tobelo, PJM Baden, van 26 Maret 1929, pag 401-404.
Saat ini banyak keterangan-keterangan dari berbagai pihak dan masyarakat
tentang orang-orang suku Togutil ini sangat berbeda dan simpang siur
antara satu dengan yang lainnya. Semua itu benar, karena mereka tahu dan
melihat dalam kurun waktu dan ruang yang berbeda sehingga deskripsi
yang lahir tentang suku Togutil ini pun berbeda pula.
Di pedalaman pulau Halmahera, komunitas suku pengembara ini ditemui di
beberapa kawasan. Di utara masih terdapat di pedalaman Tobelo, di tengah
seperti terdapat di Dodaga, di pedalaman Kao, di pedalaman Wasilei dan
agak ke selatan juga terdapat beberapa komunitas mereka di pedalaman
Maba dan Buli. Setiap komunitas (kelompok) suku primitif ini berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Bahkan mereka saling berperang bila
bertemu.
Namun demikian, bagi masyarakat Maluku Utara, masing-masing kelompok
orang-orang Tugutil ini, semuanya disebut sebagai “Suku Togutil” saja.
Yang membedakan sebutan terhadap mereka adalah kawasan yang menjadi
tempat pengembaraan mereka, misalnya Togutil Tobelo, Togutil Kao,
Togutil Dodaga, Togutil Wasilei, Togutil Maba, dsb.
Usaha pemukiman terhadap masyarakat terasing merupakan program utama
pemerintah dalam usaha membiasakan mereka hidup menetap dan bercocok
tanam (bertani). Menetap dengan pengharapan dapat meningkatkan
kesejahteraan fisik dan rohani. Usaha ini dimaksudkan agar mereka dapat
secepatnya mencapai taraf hidup yang sejajar dengan masyarakat Indonesia
umumnya.
Atas pemikiran inilah, Pemerintah Daerah di Maluku Utara pada tahun 1971
pernah membangun pemukiman (relokasi) untuk orang-orang suku Togutil
Dodaga di kecamatan Wasilei Halmahera Tengah. Yang dimaksud dengan
orang-orang Togutil Dodaga adalah sekelompok orang suku Togutil yang
berdiam di sekitar hutan dekat Dodaga. Penambahan kata Dodaga di
belakang nama golongan etnis ini adalah agar dengan mudah dapat
membedakannya dengan orang-orang suku Togutil lain yang terdapat di
kecamatan Wasilei, maupun di kecamatan-kecamatan lain di pedalaman pulau
Halmahera.
Beberapa saat setelah suku Togutil Dodaga ini bermukim di tempat
relokasi yang dibangun pemerintah, mereka kembali lagi ke hutan dan
hidup lagi menurut cara yang lama. Peristiwa tersebut menimbulkan
pertanyaan, apa sebab usaha ini gagal, sedangkan usaha-usaha serupa
berhasil di tempat lain, seperti suku Naulu di pulau Seram, orang Dayak
Bukit di Kalimantan, suku Sakai di Sumatera dsb.
Masyarakat di Desa-Desa sekitar mengatakan bahwa orang-orang Togutil
ketika musim hujan tiba, merasa terganggu dengan suara bising air hujan
yang jatuh, karena atap tidak terbuat dari dedaunan sehingga mereka
ketakutan dan lari kembali lagi ke hutan. Alasan lain mungkin karena
mereka tidak terbiasa dengan ”sandang” dan “pangan” ala kita.
MASALAH RELOKASI SUKU TOGUTIL DI WASILEI
Gambaran rinci tentang pemukiman, asal-usul dan kehidupan suku Togutil
di pedalaman pulau Halmahera ini sama sekali belum diketahui oleh dunia
pengetahuan kita. Oleh karena itu sangatlah sukar untuk memperoleh
keterangan yang terperinci dan terpercaya dari laporan-laporan yang ada
tentang Halmahera tanpa melakukan sendiri penelitian di lapangan.
Walaupun demikian, pada sekitar tahun 1979, Universitas Pattimura Ambon
pernah melakukan penelitian lapangan yang bersifat Eksplorasi melalui
pendekatan Anthropologi Sosial terhadap suku Togutil di pedalaman Tobelo
untuk mencari jawaban atas kegagalan usaha pemukiman suku terasing ini,
yang laporan penelitiannya ditulis oleh Mus J. Huliselan yakni: Masalah
Pemukiman Kembali Suku Bangsa Togutil di Kecamatan Wasilei Halmahera
Tengah Sebuah Laporan Pejajagan, Universitas Patimura, Ambon, 1980.
Saya mengutip beberapa point hasil penelitian tersebut, yang menyebutkan
bahwa; Menurut hasil penelitian ini, jika dilihat dari sistem pemukiman
orang-orang Togutil Wasilei dapat dibagi atas 3 kelompok, yaitu :
1. Mereka yang mengembara di hutan-hutan dengan goa-goa dengan rumah-rumah darurat sebagai tempat bernaung.
2. Mereka yang berpindah-pindah dalam lokasi tertentu dengan sistem perumahan yang sudah teratur (di Toboino dan Tutuling).
3. Mereka yang menetap pada suatu lokasi dengan pola pemukiman yang telah teratur (di Paraino).
Penelitian ini dilakukan terhadap kelompok kedua dan ketiga. Kelompok
pertama adalah pengembara yang dinamai oleh kelompok kedua dan ketiga
serta penduduk kecamatan Wasilei sebagai “Orang Biri-Biri”. Mereka ini
sukar ditemui dan kecurigaan mereka terhadap orang luar sangat besar.
Orang Biri-Biri hidup selalu bermusuhan dengan orang-orang Togutil
Dodaga (kelompok kedua dan ketiga). Setiap pertemuan antar kedua
golongan ini pasti diselesaikan dengan perkelahian. Kelompok kedua dan
ketiga menganggap masing-masing seketurunan atau segolongan, sedangkan
kedua golongan ini sama sekali tidak mengakui orang Biri-Biri sebagai
orang yang segolongan dengan mereka.
Orang Togutil Dodaga sebagai salah satu sub-suku Tobelo Dalam, bermukim
pada 3 lokasi yang dipilih oleh mereka sendiri di dekat Dodaga, sekitar
30 km dari ibukota Kecamatan Wasilei (Lolobata). Sebagian dari mereka
adalah orang suku Togutil yang pernah dimukimkan pada tahun 1971. Ketiga
lokasi tersebut adalah; Paraino, Toboino dan Tutuling seperti yang
sebutkan dalam hasil penelitian di atas. Orang Togutil Dodaga berasal
dari dua tempat, yaitu :
1. Daerah Kao , yakni dari Biang, Gamlaha & Kao sendiri.
2. Daerah Tobelo, yakni dari Kupa-kupa, Ufa & Efi-efi.
Dilihat dari bahasa yang digunakan sesuai hasil penelitian, kelihatannya
lebih besar pengaruh bahasa Tobelo Boeng terhadap suku ini. Orang
Togutil Dodaga sebagian besar berasal dari daerah Kao. Mereka hanya
menguasai dan mengerti satu bahasa yaitu bahasa Tobelo walaupun mereka
sejak lama bertempat tinggal di lingkungan yang mayoritas berbahasa
Maba.
Orang-orang Togutil Dodaga telah menutup dirinya untuk berhubungan
dengan dunia luar sampai kira-kira tahun 1961, setelah itu baru terdapat
kontak antar mereka dengan penduduk lain di sekitar Halmahera bagian
tengah. Sifat ketertutupan ini dapat dimengerti karena mereka adalah
pelarian.
Perpindahan nenek moyang suku Togutil Dodaga dari daerah asalnya adalah
karena menghindari kewajiban pembayaran Balahitongi (Pajak) yang
dikenakan oleh Pemerintah Hindia Belanda zaman dahulu kepada nenek
moyang mereka. Kapan dan bagaimana prosesnya berlangsung tidak diketahui
secara pasti.
Dalam buku “De Ternate Archipel” (1929, hal 401-402) secara jelas
dikemukakan bahwa: Pada tahun 1927 untuk pertama kalinya orang-orang
Togutil dikenakan Balasting (pajak) sebesar 1,20 Gulden oleh Pemerintah
Hindia Belanda. Dan sejak tahun 1929 setiap tahun ditambah dengan 0,20
Gulden. Apabila kedua keterangan ini dibandingkan, maka dapat
dikemukakan dua argument, yakni :
1. Apabila benar bahwa yang melakukan migrasi ke hurtan rimba Dodaga
adalah orang-orang Togutil, maka mereka baru melakukan hal itu sesudah
tahun 1927 karena adanya pungutan Balasting.
2. Tapi apabila yang melakukan migrasi itu adalah orang-orang Tobelo
yang melarikan diri karena Balasting, maka migrasi itu telah dilakukan
jauh sebelum tahun 1927.
Dengan demikian sulit dibedakan apakah orang Togutil Dodaga adalah
orang-orang Tobelo (Boeng) atau orang-orang Togutil asli. Sampai saat
ini tidak ada satu keteranganpun yang memberi petunjuk jelas tentang
perbedaan tersebut. Dan rupanya, hingga saat ini pengertian “Orang
Togutil” selama ini telah dipakai untuk penamaan semua orang pengembara
yang hidup di hutan pedalaman pulau Halmahera di Maluku Utara.
Para peneliti dari Universitas Patimura yang melakukan penelitian
tersebut, menyimpulkan bahwa adanya penolakan orang-orang Togutil Dodaga
untuk menerima anggapan bahwa mereka termasuk suku bangsa Togutil dan
bahkan mereka menunjuk orang lain (orang Biri-biri) sebagai orang
Togutil, hal ini mungkin sesuai kenyataan bahwa mereka itu adalah
orang-orang Tobelo (Boeng) yang dahulu melarikan diri ke hutan.
Kenyataan ini ditunjang oleh penunjukan tempat asal mereka yaitu pada
desa-desa asal Tobelo dan Kao yang bukan tempat kediaman suku Togutil
asli.
Dengan demikian, maka pasti timbul pertanyaan; Siapa sebenarnya suku
Togutil itu? Meskipun persoalan ini belum dapat terpecahkan hingga saat
ini orang mengenal Suku Togutil di pedalaman hutan Halmahera ada dua,
yaitu 1) Orang Togutil Dodaga yang sudah bisa diajak relokasi oleh
Pemerintah dan 2) Orang Togutil Asli yang masih hidup di hutan pedalaman
yang masih menggunakan pola hidup dan ketergantungan hidup dari
pemberian alam (nomaden) dan belum mengenal sistem bercocok tanam serta
kehidupan yang belum tersentuh oleh dunia luar.
HUTAN SUNGAI & GOA SEBAGAI RUMAH SUKU TOGUTIL
Orang suku Togutil ada yang bermukim di daerah pantai namun sebagian
besar berada di hutan pedalaman yang ada sungai yang menjadi sumber
kehidupan mereka. Mereka tidak mengenal sistem pemerintahan dan
kekuasaan yang mengikat. Mereka juga tidak mengenal sistem bercocok
taman dan pemukiman. Kebanyakan dari mereka mengembara di hutan-hutan
tertentu dengan gua-gua atau rumah darurat sebagai tempat bernaung yang
dianggap dunianya. Mereka hidup bergantung pada alam. Dalam berpakaian,
mereka masih menggunakan “cawat” yang terbuat dari daun dan kulit kayu,
tanpa mengenakan baju.
Orang-orang suku Togutil asli yang hidup di tengah rimba Halmahera kerap
dihujani prasangka, terbelakang dan membenci orang asing. Mereka
menggunakan anjing sebagai tindakan awal untuk menghalau jika ada orang
asing memasuki wilayah mereka.
Karena hutan adalah rumah bagi orang-orang suku Togutil, maka pohon
dianggap sebagai sumber kelahiran generasi baru. Di samping pelekatan
unsur magis tersebut, pohon juga bisa menjadi simbol kelahiran
(reproduksi genetika). Saya mengutip beberapa catatan pada hasil Lomba
YPHL (2008) dengan topik; Pohon Sebagai Simbol Kelahiran,
Mempertimbangkan Pemahaman Lokal tentang Pohon dalam Upaya Pemulihan
Kerusakan Hutan, yang ditulis oleh Anthon Ngarbingan dalam
www.kabarindonesia.com tanggal 31 Oktober 2008, mengemukakan bahwa ada
beberapa kelompok masyarakat seperti suku Togutil di daerah Baborino,
Buli, Halmahera Timur – Provinsi Maluku Utara, yang menggunakan pohon
sebagai lambang kelahiran seorang bayi di tengah-tengah keluarga. Ketika
seorang bayi lahir, maka salah satu anggota keluarga harus menanam satu
pohon, yang menyimbolkan hadirnya generasi baru di tengah-tengah
keluarga.
Hal-hal seperti ini yang menyebabkan orang-orang Togutil bisa bertahan
dalam hutan, dengan tanpa harus merusak hutan. Padahal, pola hidup
mereka berpindah-pindah tempat. Praktek semacam ini juga dilakukan oleh
beberapa keluarga yang tinggal di Tobelo, Halmahera Utara. Mereka sering
menanam satu buah pohon sebagai simbol kehadiran seorang bayi
ditengah-tengah keluarga.
Orang-orang Togutil menganggap bahwa kaitan antara anak yang dilahirkan
dengan pohon yang ditanam adalah kehidupan mereka sebenarnya akan juga
seperti pohon itu, dengan mana akan tumbuh besar dan menghasilkan
sesuatu yang bisa berguna bagi semua orang.
Orang-orang suku Togutil sampai saat ini belum mengenal sistem bertani,
sistem mata pencaharian mereka adalah mengumpulkan hasil hutan dan
berburu dalam jangka waktu tertentu, kemudian hasil yang didapat dimakan
bersama. Selama bahan makanan masih ada, para anggota keluarga luas
tidak melakukan kegiatan mencari makan. Mereka akan kembali melakukan
pengumpulan makanan dan berburu apabila cadangan makanan hampir habis.
Orang suku Togutil biasanya mendapatkan makanan langsung dari pohonnya,
seperti; buah-buahan dan umbi-umbian.
Cara berburu suku Tugutil adalah berkelompok (semua orang laki-laki dari
anggota keluarga luas) dengan menggunakan anjing. Alat-alat berburu
yang digunakan adalah tombak, parang dan panah disertai tuba (racun).
Dalam usaha menagkap buruan,mereka juga mengenal penggunaan jerat.
Orang-orang Togutil mahir membuat jerat dari seutas rotan dan tanaman
muda yang lentur melengkung untuk menjerat. Jenis binatang yang diburu
adalah babi, rusa, ayam hutan, burung, kuskus, ular, biawak dan
kelelawar.
Orang-orang suku Togutil dalam usaha mengumpulkan makanan, melakukan
secara berkelompok, misalnya meramu sagu, atau sendiri-sendiri seperti
mengumpul umbi-umbian (Bete, Mangere & Gihuku) dan buah-buahan.
Karena mereka berdiam di dekat aliran sungai, maka menangkap ikan juga
merupakan mata pencaharian pokok. Seruas bambu disulap jadi panci
penanak nasi atau ramuan obat, dan selembar manggar, daun lontar muda
dirangkai jadi takir, cangkir alami. Getah damar dari hibum, kenari
raksasa sebesar bola tenis, empat kali kenari biasa, bagian kulitnya
dipenggal, dibakar, nyalanya seperti lilin penerang malam hari.
Bagi orang-orang suku Togutil, anjing merupakan harta yang paling
tinggi. Seorang Togutil tanpa anjing akan lumpuh dalam pekerjaan dan
tidak bergairah. Hal ini mungkin karena peranan anjing begitu besar
dalam kehidupan seorang Togutil di hutan, baik dalm berbuiru maupun
mencari nafkah. Kemanapun orang suku Togutil pergi, ia akan disertai
anjingnya. Karena itulah tidak heran bila seekor anjing dapat
menimbulkan permasalahan persengketaan antar perorangan maupun antar
kelompok yang berujung pada perang kecil. Masalah bunuh-membunuh,
keretakan hubungan antar kerabat dan antar kelompok bisa saja dapat
timbul akibat seekor anjing.
Informasi lain tentang suku yang nyaris telanjang (berpakaian cawat) ini
amat beragam. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (LP3ES, 1996)
menyebutnya sebagai “Suku Togutil” yang tinggal di hutan Dodaga dan
Tutuling, Kecamatan Wasile, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Menurut
Ensiklopedi ini, populasi orang Togutil saat itu 600 orang. Sumber lain
menyebutnya “Oho Ngana Manyawa” yang bermakna orang hutan atau orang
rimba yang suka membunuh (menghabisil nyawa) orang asing.
Dalam tulisan Christantiowati di Majalah Intisari Edisi September 2008,
halaman 124-130 menulis bahwa Rachma Tri Widuri dari lembaga Pelestarian
Burung Indonesia, dan Atiti Katango, jagawana dari Taman Nasional (TN)
Aketajawe, yang mengantar Tim ini ke tepi Sungai Tayawi, dekat Kampung
Kumu, hanya 15 menit bermobil dan Desa Bale, mengemukakan bahwa warga
Desa Bale, Kecamatan Oba, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara
berceritera kepada mereka bahwa orang-orang suku Togutil itu dulu warga
yang “lari pajak” (tak mau bayar pajak), jadi lari atau diusir Belanda
masuk hutan. Mereka bisa ditemui pula di sekitar Desa Tutur, Tukur,
Totodoku, Oboi, Tatam, Lili, Mabulan, dan Baken. Mereka disebut Tobelo
Dalam atau Tobelo Hutan, untuk membedakan dari Tobaru, Tobelo Kampung
atau yang sudah ke kota.
Suku Togutil yang kita kenal hingga saat ini, suatu saat nanti siapa
sangka mungkin hanya tinggal kenangan. Kini populasi suku ini semakin
berkurang. Hal ini bisa saja karena kondisi kebiasaan hidup mereka yang
tidak teratur yang mengakibatkan jumlah kelahiran tidak sebanding dengan
kematian dari anggota suku ini. Hal lain adalah tabiat mereka yang
takut melihat manusia lain dan ini menutup kesempatan mereka mendapatkan
makanan pada musim sulit sehingga pada akhirnya mempengaruhi
perkembangan populasi dan reproduksi genetika mereka. Semoga suku ini
tidak mengikuti jejak Suku Moro di Halmahera utara yang hilang misterius
(gaib) di abad sebelumnya. Semoga saja “National Geography” berminat
melakukan eksplorasi ke tempat ini……!
Satu hal yang paling berharga yang telah ditunjukkan oleh suku Togutil
yang kita anggap “kurang” beradab ini telah menjadi pelajaran untuk kita
semua, yakni; “Peliharalah alam, lestarikanlah hutan & jangan
sekali-kali merusaknya”. Sekali lagi, mereka membuktikan bahwa kita yang
merasa diri si “beradab” ini yang harus belajar kearifan dan keramahan
dari mereka. Saya yakin anda semua pasti setuju dengan ini…!
Penulis: Busranto Abdullatif Doa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar